Tuesday, August 26, 2025

Geger di Musi Rawas! Oknum Pejabat Dinsos Diduga Intimidasi Wartawan, Ketua IWO.I Angkat Suara: “Ini Serangan terhadap Kebebasan Pers!”

Musi Rawas, UKN

Aroma ketegangan antara insan pers dan pemerintah daerah kembali menyeruak di Kabupaten Musi Rawas. Kali ini, kasus somasi yang dilayangkan oleh Law Office BRM & Partners atas pemberitaan media online lubuklinggauterkini.com justru memantik api polemik baru: apakah kebebasan pers di Musi Rawas sedang diganggu?

 

Baca Juga  yaitu

1.    Jejak PanjangPenculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih

2.    Kejagung Digugatkarena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!

3.    Senayan di Demo Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?

4.    Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK

5.    Heboh! Rakyat Siap Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada  25 Agustus 2025!”

6.    Immanuel Ebenezer Tersangka KPK, Malah Minta Amnesti ke Istana

Bagi publik, kasus ini bukan sekadar sengketa pemberitaan biasa. Di baliknya, tersimpan isu krusial tentang kebebasan pers yang merupakan pilar demokrasi. Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWO.I) Kabupaten Musi Rawas, Herlyansah H.E atau yang akrab disapa Bang Herly, tampil ke depan dengan suara lantang. Ia mendesak agar Pemerintah Kabupaten Musi Rawas—khususnya Bupati Hj. Ratna Mahmud—tidak tinggal diam menghadapi praktik yang berpotensi membungkam suara wartawan.

Kasus bermula dari sebuah artikel di lubuklinggauterkini.com berjudul: “Sekda serta Kadis Enggan Berkomentar, Diduga Belanja BBM Dinsos Mura Fiktif”. Berita ini menyinggung dugaan penyimpangan dalam anggaran belanja bahan bakar minyak (BBM) di Dinas Sosial Kabupaten Musi Rawas Tahun Anggaran 2024.

Alih-alih memberikan hak jawab atau klarifikasi, pihak Dinas Sosial Musi Rawas justru menempuh jalur hukum dengan melayangkan somasi melalui Law Office BRM & Partners. Bagi kalangan pers, langkah ini dianggap berlebihan, bahkan sarat nuansa intimidasi.

“Seharusnya pejabat cukup menggunakan hak jawab jika merasa dirugikan. Bukan malah mengeluarkan somasi yang justru bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers,” tegas Bang Herly saat ditemui di kantornya.

Pernyataan keras Bang Herly tidak datang tanpa dasar. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa jurnalis memiliki hak untuk mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarkan informasi kepada publik. Lebih jauh, undang-undang juga memberikan mekanisme jelas jika terjadi sengketa pemberitaan: melalui hak jawab dan hak koreksi.

“Jika pejabat tidak setuju dengan isi berita, ada mekanismenya. Jangan malah menggunakan somasi, apalagi kalau ujung-ujungnya bisa dianggap intimidasi. Ini bisa jadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Musi Rawas,” tambahnya.

 

Menurutnya, pers bukan musuh pemerintah, melainkan mitra strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Tanpa pers, publik akan kehilangan akses pada informasi faktual yang menjadi bahan dasar dalam menilai kinerja pemerintah.

Pers Sebagai Pilar Demokrasi. Bang Herly menegaskan, pers adalah pilar demokrasi yang sejajar pentingnya dengan lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Wartawan bukan sekadar penulis berita, melainkan penghubung antara fakta di lapangan dengan masyarakat luas.

“Tanpa wartawan, masyarakat akan kehilangan informasi yang objektif dan berimbang. Itu berbahaya, karena bisa melahirkan ruang gelap yang dimanfaatkan oleh oknum untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah daerah seharusnya mendukung kerja-kerja jurnalistik, bukan malah menciptakan ketakutan dengan ancaman hukum. “Kalau wartawan dibungkam, siapa yang akan menyuarakan suara rakyat?” tanya Bang Herly retoris.

Ketua IWO.I Musi Rawas secara terbuka mendesak Bupati Hj. Ratna Mahmud agar turun tangan. Menurutnya, bupati harus memberikan sinyal positif dengan mendukung kebebasan pers sebagai fondasi demokrasi yang sehat.

“Bupati harus berdiri di depan, memberikan dukungan penuh terhadap jurnalis. Jangan sampai pemerintah dianggap membiarkan upaya intimidasi terhadap wartawan,” katanya.

Dukungan dari kepala daerah, lanjutnya, akan menjadi penegasan moral bahwa Kabupaten Musi Rawas berkomitmen pada transparansi dan akuntabilitas. “Kalau pemerintahnya terbuka, kenapa harus takut dengan pemberitaan? Justru berita itu bisa jadi masukan untuk perbaikan,” jelasnya.

Kasus ini tidak berhenti di Musi Rawas saja. Reaksi keras juga muncul dari pengurus pusat Ikatan Wartawan Online Indonesia (DPP IWO.I) yang ikut menyoroti. Mereka menilai langkah somasi oleh pejabat Dinsos Musi Rawas sebagai ancaman serius bagi ekosistem pers nasional.

“Ini bukan hanya soal satu wartawan, tapi soal kebebasan pers di Indonesia. Jika kasus seperti ini dibiarkan, bisa menular ke daerah lain. Setiap pejabat yang merasa ‘tidak nyaman’ dengan berita bisa saja menempuh cara serupa,” ujar salah satu pengurus IWO.I di tingkat pusat.

Solidaritas juga muncul dari berbagai wartawan di kawasan Musi Rawas, Lubuklinggau, hingga Musi Rawas Utara. Mereka menegaskan siap mengawal kasus ini agar tidak merugikan kebebasan pers di daerah.

Menurut para praktisi media, perbedaan besar antara hak jawab dan somasi adalah pada niat penyelesaiannya. Hak jawab memberi ruang klarifikasi secara elegan dalam media yang sama, sedangkan somasi cenderung bernuansa mengintimidasi.

“Undang-undang pers sudah memberi ruang yang adil. Kalau berita tidak sesuai fakta, silakan gunakan hak jawab. Itu mekanisme yang sehat. Somasi apalagi sampai pidana, itu justru bisa dianggap bentuk kriminalisasi pers,” jelas seorang pengamat media di Sumatera Selatan.

Pernyataan ini sejalan dengan pasal-pasal dalam UU Pers yang menegaskan penyelesaian sengketa pemberitaan harus mengedepankan hak jawab dan hak koreksi, bukan langsung mengarah ke jalur hukum.

Pers Harus Profesional, Tapi Tidak Boleh Dibungkam. Bang Herly juga mengingatkan bahwa wartawan pun memiliki tanggung jawab profesional. “Kebebasan pers bukan berarti tanpa batas. Wartawan tetap harus taat kode etik dan bekerja berdasarkan fakta. Tapi itu tidak mengurangi hak mereka untuk menyampaikan informasi,” tegasnya.

Artinya, pers memang wajib menjaga kredibilitas dan integritas. Namun, tindakan pejabat yang mencoba membatasi ruang gerak pers tetap tidak bisa dibenarkan. Apalagi jika menggunakan instrumen hukum untuk menekan wartawan.

Kasus dugaan belanja BBM fiktif di Dinsos Musi Rawas sejatinya adalah isu publik. Anggaran yang dipakai bersumber dari uang rakyat, sehingga wajar jika masyarakat menuntut transparansi. Media hanya menjalankan fungsinya sebagai penyampai informasi.

“Kalau memang ada dugaan penyimpangan, publik berhak tahu. Pemerintah harus transparan, bukan malah memusuhi wartawan yang memberitakan,” kata seorang aktivis antikorupsi lokal.

Menurutnya, reaksi pejabat yang terlalu defensif justru menimbulkan tanda tanya besar. “Kenapa harus takut dengan pemberitaan kalau tidak ada yang disembunyikan?”

Ketua IWO.I Musi Rawas memastikan pihaknya tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus mengawal kasus ini, termasuk setiap bentuk intimidasi maupun tekanan terhadap jurnalis.

“Kami bertekad mengawal sampai tuntas. Jangan ada lagi wartawan yang dibungkam dengan somasi atau cara-cara intimidatif,” pungkas Bang Herly.

Kasus ini menjadi cermin penting bagi wajah demokrasi di Kabupaten Musi Rawas. Apakah pemerintah daerah siap membangun iklim keterbukaan informasi, atau justru masih terjebak dalam paradigma lama yang memandang pers sebagai ancaman?

Jika kebebasan pers tidak dihormati, Musi Rawas berpotensi kehilangan kepercayaan publik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sebaliknya, jika pemerintah merangkul pers sebagai mitra, Musi Rawas bisa menjadi contoh daerah yang demokratis, transparan, dan progresif.

Kebebasan pers bukan sekadar jargon. Ia adalah hak fundamental masyarakat untuk tahu, mengawasi, dan menilai jalannya pemerintahan. Wartawan hanyalah perantara, sementara yang mereka perjuangkan sejatinya adalah hak publik atas informasi.

Kasus somasi terhadap wartawan di Musi Rawas harus menjadi alarm peringatan. Pemerintah daerah, khususnya Bupati, dituntut segera mengambil sikap tegas: apakah berpihak pada keterbukaan atau membiarkan intimidasi membayangi kerja-kerja jurnalistik?

Sebagaimana pesan Bang Herly, “Pers yang merdeka tetap profesional. Tapi kebebasan itu harus dijamin agar masyarakat tidak kehilangan haknya atas informasi.” (Rls/IWO.I Mura)

Share:

0 komentar:

Featured Post

Polisi Segel Dapur MBG di Lebong: 456 Siswa Jadi Korban, Kapolda Turun Tangan!

SEKDIS PENDIDIKAN

KABID SMP DISDIK EMPAT LAWANG

KABID KESMAS

KABID SDA DINAS PUPR 4L

KABAG KESRA EMPAT LAWANG

KABAG UMUM EMPAT LAWANG

KABAG TAPEM

SMAN 1 LK

SMAN 1 SALING

SMAN 1 PENDOPO

SMAN 3 TEBING TINGGI

SMAN 1 MUARA PINANG 4 L

SMKN 1 EMPAT LAWANG

SMKN 2 EMPAT LAWANG

SLBN 4L

SMP N 2 TT

SDN 1 TALANG PADANG

KADES KARANG ARE TP

KADES KEMBAHANG BARU

KADES ULAK DABUK TP

PJ. KADES MEKAR JAYA TB. TINGGI

SD NEGERI 24 TBG. TINGGI

Cari di web ini

Tag