Musi Rawas, UKN
Aroma ketegangan
antara insan pers dan pemerintah daerah kembali menyeruak di Kabupaten Musi
Rawas. Kali ini, kasus somasi yang dilayangkan oleh Law Office BRM &
Partners atas pemberitaan media online lubuklinggauterkini.com justru memantik
api polemik baru: apakah kebebasan pers di Musi Rawas sedang diganggu?
Baca Juga yaitu
1. Jejak PanjangPenculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih
2. Kejagung Digugatkarena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!
3. Senayan di Demo
Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?
4. Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK
5. Heboh! Rakyat Siap
Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada 25 Agustus 2025!”
6. Immanuel Ebenezer Tersangka KPK, Malah Minta
Amnesti ke Istana
Bagi publik,
kasus ini bukan sekadar sengketa pemberitaan biasa. Di baliknya, tersimpan isu
krusial tentang kebebasan pers yang merupakan pilar demokrasi. Ketua Ikatan
Wartawan Online Indonesia (IWO.I) Kabupaten Musi Rawas, Herlyansah H.E atau yang
akrab disapa Bang Herly, tampil ke depan dengan suara lantang. Ia mendesak agar
Pemerintah Kabupaten Musi Rawas—khususnya Bupati Hj. Ratna Mahmud—tidak tinggal
diam menghadapi praktik yang berpotensi membungkam suara wartawan.
Kasus bermula
dari sebuah artikel di lubuklinggauterkini.com berjudul: “Sekda serta Kadis
Enggan Berkomentar, Diduga Belanja BBM Dinsos Mura Fiktif”. Berita ini
menyinggung dugaan penyimpangan dalam anggaran belanja bahan bakar minyak (BBM)
di Dinas Sosial Kabupaten Musi Rawas Tahun Anggaran 2024.
Alih-alih
memberikan hak jawab atau klarifikasi, pihak Dinas Sosial Musi Rawas justru
menempuh jalur hukum dengan melayangkan somasi melalui Law Office BRM &
Partners. Bagi kalangan pers, langkah ini dianggap berlebihan, bahkan sarat
nuansa intimidasi.
“Seharusnya
pejabat cukup menggunakan hak jawab jika merasa dirugikan. Bukan malah
mengeluarkan somasi yang justru bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman
terhadap kebebasan pers,” tegas Bang Herly saat ditemui di kantornya.
Pernyataan keras
Bang Herly tidak datang tanpa dasar. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers menegaskan bahwa jurnalis memiliki hak untuk mencari, memperoleh,
mengolah, dan menyebarkan informasi kepada publik. Lebih jauh, undang-undang
juga memberikan mekanisme jelas jika terjadi sengketa pemberitaan: melalui hak
jawab dan hak koreksi.
“Jika pejabat tidak
setuju dengan isi berita, ada mekanismenya. Jangan malah menggunakan somasi,
apalagi kalau ujung-ujungnya bisa dianggap intimidasi. Ini bisa jadi preseden
buruk bagi kebebasan pers di Musi Rawas,” tambahnya.
Menurutnya, pers
bukan musuh pemerintah, melainkan mitra strategis dalam mengawasi jalannya
pemerintahan. Tanpa pers, publik akan kehilangan akses pada informasi faktual
yang menjadi bahan dasar dalam menilai kinerja pemerintah.
Pers Sebagai
Pilar Demokrasi. Bang Herly menegaskan, pers adalah pilar demokrasi yang
sejajar pentingnya dengan lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Wartawan bukan sekadar penulis berita, melainkan penghubung antara fakta di
lapangan dengan masyarakat luas.
“Tanpa wartawan,
masyarakat akan kehilangan informasi yang objektif dan berimbang. Itu
berbahaya, karena bisa melahirkan ruang gelap yang dimanfaatkan oleh oknum
untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Ia menambahkan,
pemerintah daerah seharusnya mendukung kerja-kerja jurnalistik, bukan malah
menciptakan ketakutan dengan ancaman hukum. “Kalau wartawan dibungkam, siapa
yang akan menyuarakan suara rakyat?” tanya Bang Herly retoris.
Ketua IWO.I Musi
Rawas secara terbuka mendesak Bupati Hj. Ratna Mahmud agar turun tangan.
Menurutnya, bupati harus memberikan sinyal positif dengan mendukung kebebasan
pers sebagai fondasi demokrasi yang sehat.
“Bupati harus
berdiri di depan, memberikan dukungan penuh terhadap jurnalis. Jangan sampai
pemerintah dianggap membiarkan upaya intimidasi terhadap wartawan,” katanya.
Dukungan dari
kepala daerah, lanjutnya, akan menjadi penegasan moral bahwa Kabupaten Musi
Rawas berkomitmen pada transparansi dan akuntabilitas. “Kalau pemerintahnya
terbuka, kenapa harus takut dengan pemberitaan? Justru berita itu bisa jadi
masukan untuk perbaikan,” jelasnya.
Kasus ini tidak
berhenti di Musi Rawas saja. Reaksi keras juga muncul dari pengurus pusat
Ikatan Wartawan Online Indonesia (DPP IWO.I) yang ikut menyoroti. Mereka
menilai langkah somasi oleh pejabat Dinsos Musi Rawas sebagai ancaman serius
bagi ekosistem pers nasional.
“Ini bukan hanya
soal satu wartawan, tapi soal kebebasan pers di Indonesia. Jika kasus seperti
ini dibiarkan, bisa menular ke daerah lain. Setiap pejabat yang merasa ‘tidak
nyaman’ dengan berita bisa saja menempuh cara serupa,” ujar salah satu pengurus
IWO.I di tingkat pusat.
Solidaritas juga
muncul dari berbagai wartawan di kawasan Musi Rawas, Lubuklinggau, hingga Musi
Rawas Utara. Mereka menegaskan siap mengawal kasus ini agar tidak merugikan
kebebasan pers di daerah.
Menurut para
praktisi media, perbedaan besar antara hak jawab dan somasi adalah pada niat
penyelesaiannya. Hak jawab memberi ruang klarifikasi secara elegan dalam media
yang sama, sedangkan somasi cenderung bernuansa mengintimidasi.
“Undang-undang
pers sudah memberi ruang yang adil. Kalau berita tidak sesuai fakta, silakan
gunakan hak jawab. Itu mekanisme yang sehat. Somasi apalagi sampai pidana, itu
justru bisa dianggap bentuk kriminalisasi pers,” jelas seorang pengamat media
di Sumatera Selatan.
Pernyataan ini
sejalan dengan pasal-pasal dalam UU Pers yang menegaskan penyelesaian sengketa
pemberitaan harus mengedepankan hak jawab dan hak koreksi, bukan langsung
mengarah ke jalur hukum.
Pers Harus
Profesional, Tapi Tidak Boleh Dibungkam. Bang Herly juga mengingatkan bahwa
wartawan pun memiliki tanggung jawab profesional. “Kebebasan pers bukan berarti
tanpa batas. Wartawan tetap harus taat kode etik dan bekerja berdasarkan fakta.
Tapi itu tidak mengurangi hak mereka untuk menyampaikan informasi,” tegasnya.
Artinya, pers
memang wajib menjaga kredibilitas dan integritas. Namun, tindakan pejabat yang
mencoba membatasi ruang gerak pers tetap tidak bisa dibenarkan. Apalagi jika
menggunakan instrumen hukum untuk menekan wartawan.
Kasus dugaan
belanja BBM fiktif di Dinsos Musi Rawas sejatinya adalah isu publik. Anggaran
yang dipakai bersumber dari uang rakyat, sehingga wajar jika masyarakat
menuntut transparansi. Media hanya menjalankan fungsinya sebagai penyampai
informasi.
“Kalau memang ada
dugaan penyimpangan, publik berhak tahu. Pemerintah harus transparan, bukan
malah memusuhi wartawan yang memberitakan,” kata seorang aktivis antikorupsi
lokal.
Menurutnya,
reaksi pejabat yang terlalu defensif justru menimbulkan tanda tanya besar.
“Kenapa harus takut dengan pemberitaan kalau tidak ada yang disembunyikan?”
Ketua IWO.I Musi
Rawas memastikan pihaknya tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus mengawal
kasus ini, termasuk setiap bentuk intimidasi maupun tekanan terhadap jurnalis.
“Kami bertekad
mengawal sampai tuntas. Jangan ada lagi wartawan yang dibungkam dengan somasi
atau cara-cara intimidatif,” pungkas Bang Herly.
Kasus ini menjadi
cermin penting bagi wajah demokrasi di Kabupaten Musi Rawas. Apakah pemerintah
daerah siap membangun iklim keterbukaan informasi, atau justru masih terjebak
dalam paradigma lama yang memandang pers sebagai ancaman?
Jika kebebasan
pers tidak dihormati, Musi Rawas berpotensi kehilangan kepercayaan publik, baik
di tingkat lokal maupun nasional. Sebaliknya, jika pemerintah merangkul pers
sebagai mitra, Musi Rawas bisa menjadi contoh daerah yang demokratis,
transparan, dan progresif.
Kebebasan pers
bukan sekadar jargon. Ia adalah hak fundamental masyarakat untuk tahu,
mengawasi, dan menilai jalannya pemerintahan. Wartawan hanyalah perantara,
sementara yang mereka perjuangkan sejatinya adalah hak publik atas informasi.
Kasus somasi
terhadap wartawan di Musi Rawas harus menjadi alarm peringatan. Pemerintah
daerah, khususnya Bupati, dituntut segera mengambil sikap tegas: apakah
berpihak pada keterbukaan atau membiarkan intimidasi membayangi kerja-kerja
jurnalistik?
Sebagaimana pesan
Bang Herly, “Pers yang merdeka tetap profesional. Tapi kebebasan itu harus
dijamin agar masyarakat tidak kehilangan haknya atas informasi.” (Rls/IWO.I
Mura)
0 komentar:
Post a Comment